Penyakit Asam Lambung
Gastroesophageal Reflux Disease atau yang juga disebut GERD, merupakan suatu kondisi naiknya asam lambung ke kerongkongan (esofagus). Umumnya, GERD ditandai dengan nyeri ulu hati yang disertai sensasi hangat di bagian bawahnya atau rasa terbakar yang naik dari perutdan dapat menjalar ke leher. Kondisi ini diperburuk oleh aktivitas yang menyebabkan refluks, seperti posisi berbaring, membungkuk, makan makanan berlemak tinggi. Gejala lainnya adalah hipersalivasi dan sendawa. Gejala alarm yang mungkin mengindikasikan komplikasi antara lain nyeri dan kesulitan menelan, perdarahan, dan penurunan berat badan.
A. Faktor Resiko
Wanita diketahui lebih berisiko mengalami GERD. Selain itu, faktor risiko lain terjadinya refluks gastroesofagus antara lain obesitas, usia lebih dari 40 tahun, kehamilan, merokok, diabetes, asma, dan riwayat keluarga dengan GERD. Pada sebagian orang, makanan dapat memicu terjadinya refluks gastroesofagus, seperti bawang, saos tomat, mint, minuman berkarbonasi, coklat, kafein, makanan pedas, makanan berlemak, alkohol, ataupun porsi makan yang terlalu besar. Beberapa obat dan suplemen diet pun dapat memperburuk gejala refluks gastroesofagus, dalam hal ini obat-obatan yang mengganggu kerja otot sfingter esofagus bagian bawah, seperti sedatif, penenang, antidepresan, calcium channel blockers, dan narkotika. Termasuk juga penggunaan rutin beberapa jenis antibiotika dan Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs) dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya inflamasi esofagus.
Gaya hidup yang salah dapat menjadi pemicu GERD. Oleh karena itu, kita perlu tahu cara yang tepat untuk mencegah GERD agar tidak mengganggu kesehatan.
1. Turunkan Berat Badan Jika Overweight (Kelebihan Berat Badan)
Untuk mencegah GERD, yang pertama adalah kita harus memerhatikan berat badan terlebih dahulu. Berat badan berlebih dapat memicu GERD karena adanya peningkatan tekanan pada perut yang melemahkan otot katup esofagus bagian bawah. Banyak pengidap GERD yang keluhannya membaik setelah berhasil menurunkan berat badan
2. Hindari Beberapa Jenis Makanan
Beberapa makanan dan minuman sebaiknya dihindari untuk mencegah GERD. Beberapa contoh makanan tersebut yaitu cokelat, alkohol, jus jeruk, makanan yang mengandung tomat, makanan berlemak, merica, peppermint, kopi, dan bawang. Jenis makanan ini dapat mengiritasi mukosa lambung dan esofagus dan melemahkan otot katup esofagus bawah.
3. Hindari Makanan dalam Jumlah Besar
Makan dengan porsi kecil, tetapi sering lebih baik daripada dengan porsi besar sekaligus. Ini karena makan dengan porsi besar dapat berpotensi meningkatkan kerja lambung sehingga melemahkan otot katup esofagus bawah yang mengakibatkan GERD.
4. Hindari Berbaring Setelah Makan
Tunggu 3 jam setelah makan jika ingin tidur atau berbaring. Beri kesempatan asam lambung turun dan lambung mengosongkan diri dengan posisi duduk kurang lebih 3 jam setelah makan besar terakhir.
5. Hindari Merokok
Merokok dapat melemahkan otot katup esofagus bawah. Berhenti merokok adalah tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah GERD.
B. Terapi Non Farmakologi
Terapi non-farmakologi atau terapi tanpa menggunakan obat lebih utama untuk dilakukan karena GERD disebabkan oleh gaya gaya hidup yang salah. Oleh karena itu, memperbaiki gaya hidup bermanfaat besar dalam penatalaksanaan GERD. Terapi non-farmakologi dilakukan dengan modifikasi gaya hidup seperti yang telah diuraikan di atas. Hal penting lainnya adalah tidur dengan posisi kepala lebih tinggi 15-20 cm dari badan untuk mencegah asam lambung naik ketika tidur. Pasien GERD sebaiknya menggunakan pakaian yang longgar dan nyaman, hindari memakai pakaian yang ketat di daerah pinggang dan perut. Jika pasien GERD sedang menjalani pengobatan wajib untuk penyakit lain yang mengiritasi mukosa esofagus, sebaiknya obat diminum dalam posisi tegak dengan banyak cairan atau makanan.
C. Terapi Farmakologi
Mengingat kemungkinan komplikasi yang dapat ditimbulkan, sepatutnya penyakit ini mendapat penatalaksanaan yang adekuat apabila terapi non-farmakologi belum berhasil memperbaiki GERD pada pasien. Terapi farmakologis GERD dilakukan dengan 1) terapi yang diarahkan pada pasien (patient-directed therapy) dengan Antasida, Antagonis reseptor H2, atau PPI tanpa resep; 2) Terapi supresi asam atau 3) obat-obat pro motilitas. Obat yang digunakan dalam terapi GERD antara lain :
1. Antasida dan Antasida-Asam Alginat
Antasida adalah obat yang bisa diberikan pada pasien GERD dengan gejala ringan hingga sedang. Obat ini dapat diberikan dengan resep ataupun tanpa resep dokter. Antasida bekerja dengan menetralkan asam lambung, sehingga dapat berefek pada peningkatan tekanan lower esophageal sphincter (LES). Efek samping umum yang mungkin terjadi pada pasien pengguna antasida adalah konstipasi atau diare. Hal ini bergantung pada komposisi alumunium hidroksida dan magnesium hidroksida dalam obat.
Produk antasida dapat pula dicampurkan dengan asam alginat. Asam alginat tidak menetralkan asam lambung, sehingga tidak memberikan efek pada LES. Akan tetapi, asam alginat dapat membentuk larutan kental yang berfungsi sebagai barrier esofagus dari cairan refluks lambung. Adanya asam alginate juga dapat mengurangi jumlah episode terjadinya refluks, sehingga kombinasi ini lebih baik dibandingkan antasida tunggal.
2. Antagonis Reseptor H2 (H2RA)
Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini yaitu simetidin, famotidin, nizatidin, dan ranitidin. Obat ini beraksi menurunkan jumlah asam lambung dengan berikatan secara reversibel pada reseptor H2 di sel gastrik parietal. Adanya interaksi ini menghambat terbentuknya ikatan histamin dengan reseptor H2, sehingga gastrin tidak dihasilkan (Nugent et al., 2020). H2RA biasanya diberikan sebelum makan. Dibandingkan dengan antasida, H2RA memiliki onset yang lebih lambat, namun durasi aksinya lebih lama (DiPiro et al., 2015).
3. Proton Pump Inhibitor
PPI bekerja menghambat sekresi asam lambung dengan mengeblok H, K-ATPase (Shin dan Sachs, 2008). Golongan ini merupakan obat utama dalam pengobatan GERD. Obat PPI seperti esomeprazole, omeprazole, dan lansoprazole tersedia di apotek tanpa perlu resep dari dokter. Efek samping paling umum dari PPI adalah pusing, diare, konstipasi, dan nyeri abdomen. Untuk pengobatan sendiri, jika gejala tidak membaik setelah dua minggu penggunaan, maka pasien disarankan untuk berkonsultasi dengan dokter. PPI umumnya digunakan satu kali sehari (DiPiro et al., 2015).
Terapi supresi asam dengan resep obat antagonis reseptor H2 dan inhibitor pompa proton adalah andalan dalam pengobatan GERD.
4. Agen Promotilitas: Metoklopramid dan Bethanechol
Golongan ini biasanya jarang digunakan dalam terapi GERD karena besarnya efek samping dan efektivitas yang tidak sebaik obat-obat penekan asam lambung, namun mungkin bermanfaat pada pasien dengan gangguan motilitas yang telah diketahui, seperti inkompetensi LES, penurunan klirens esofagus, dan pengosongan lambung lambat. Metoklopramid merupakan antagonis dopamin yang berefek meningkatkan tekanan LES dan pengosongan lambung. Akan tetapi, metoklopramid tidak terbukti membantu penyembuhan tukak pada lambung. Selain itu, efek samping metoklopramid cukup berbahaya, diantaranya efek ekstrapiramidal, tardive dyskinensia, dan efek pada system saraf pusat lainnya. Resiko efek samping tersebut lebih besar terjadi pada pasien dengan gangguan ginjal, karena metoklopramid yang dieliminasi oleh ginjal. Metoklopramid dikontraindikasikan pada pasien Parkinson.
Bethanechol juga merupakan agen promotilitas, dan penggunaannya tidak direkomendasikan karena berbagai efek samping yang tidak diinginkan. Efek samping tersebut antara lain: retensi urin, nausea, flushing, kondisi abdomen tidak nyaman (DiPiro et al., 2015).
5. Protektan Mukosa
Sukralfat, garam aluminium dari sukrosa oktasulfat yang tidak terserap, mempunyai manfaat terbatas pada terapi GERD. Obat ini mempunyai laju pengobatan yang sama seperti antagonis reseptor H2 pada pasien esofagitis ringan tapi kurang efektif dari pada antagonis reseptor H2 dosis tinggi pada pasien dengan esofagitis refrakter. Berdasarkan data yang ada, sukralfat tidak direkomendasikan untuk terapi. (DiPiro et al., 2015).
GERD memiliki tiga kelompok gejala, yaitu gejala esofagus (heartburn, regurgitasi, gejala memburuk saat posisi tidur), gejala ekstraesofagus (sakit dada, batuk, dan sesak), dan warning symptoms (disfagia, perdarahan, dan penurunan berat badan). Jika pasien mengalami warning symptoms, maka segera dirujuk untuk memperoleh pertolongan dokter dan endoskopi. Jika pasien mengalami gejala ekstraesofagus saja, maka perlu dieksaminasi kembali untuk mengukuhkan diagnosis. Apabila pasien terbukti mengalami GERD, maka dapat diberikan treatment seperti pasien dengan gejala esofagus (ANMC, 2002).
Pengobatan untuk pasien dengan gejala esofagus (positif GERD) adalah dengan anatasida, H2RA, atau PPI (tanpa resep dokter). Jika kondisi tidak membaik setelah penggunaan selama 2 minggu, atau justru memburuk hingga muncul warning symptoms, pasien perlu memperoleh pertolongan dokter dengan endoskopi atau asesmen ulang. Jika selama dua minggu tersebut kondisi pasien membaik, maka pengobatan dilanjutkan hingga dua bulan. Setelah dua bulan pasien tidak mengalami gejala kembali, dapat dilakukan percobaan penghentian penggunaan obat selama 2 minggu. Apabila dalam dua minggu tersebut pasien tidak mengalami gejala kembali, maka pasien tidak perlu pengobatan lagi, namun tetap mempertahankan gaya hidup yang mencegah terjadinya GERD seperti tidak meminum kopi, tidak langsung tidur setelah makan, dan sebagainya (DiPiro et al., 2015).
Sumber:
https://klinika.farmasi.ugm.ac.id/2020/10/04/penyakit-asam-lambung-naik-kenali-gejala-dan-pengobatannya-2/
Annonin, 2019, GERD, Direktorat Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI
Gambar: Klik Dokter